Senin, Maret 07, 2011

Hard to Say I'm Sorry


Category: Feelings & Thoughts

"Sebuah SPBU di Taman Kopo (Bdg) diblokir paksa oleh masyarakat krn dianggap sering menimbulkan kecelakaan. Penyebabnya: Banyak pemotor yg keluar dr SPBU lbh memilih belok kiri melawan arus lalin ke persimpangan terdekat ketimbang memutar sesuai arus. *Lho..anggota masyarakatnya yg mbalelo kok SPBUnya yg diblokir? Masyarakat yg aneh...* "

Di atas adalah bunyi status seorang teman di fesbuk yang menginspirasi dibuatnya tulisan ini.

Dalam salah satu tulisan terdahulu tentang cara berpakaian di rumah ibadah saya pernah menulis bahwa ada beberapa adat Barat (Amerika) yang patut ditiru oleh orang Timur. Bukannya saya pro-Barat, gini2 saya tetap orang Timur tulen, tapi menurut saya, kalau ada hal2 yang bagus dan patut ditiru, entah dari mana pun asalanya, kenapa tidak?

Hari ini saya menyoroti budaya MEMINTA MAAF.

Waktu mencari gambar untuk artikel ini, saya melakukan 2 search di Google. Pertama saya mencari gambar dengan keyword SORRY. Kedua saya mencari gambar dengan keyword MAAF. Hasilnya cukup menarik. Pencarian pertama membuahkan banyak sekali gambar2 lucu macam ilustrasi kartu untuk meminta maaf secara personal. Pencarian kedua menghasilkan gambar signage lalu lintas "Maaf sedang ada perbaikan" atau gambar bertema hari raya Lebaran. Tak percaya? Silakan coba.

Kesimpulan saya: meminta maaf secara personal bagi orang2 yang berbahasa Indonesia, paling tidak di dunia maya, jauh lebih tidak populer daripada bagi orang2 yang berbahasa Inggris.

Meminta maaf memang bukan budaya Timur. Orang lebih suka bohong terang2an (bahkan kadang dengan resiko terlihat bodoh dan muka badak, orang jelas2 semua orang tahu dia bohong) daripada mengakui kesalahan. Mengaku bersalah identik dengan terlihat lemah.

Kurang yakin?

Coba bandingkan contoh2 berikut...

Kasus Tiger Woods vs Ariel

Waktu affair2nya ketahuan, Tiger Woods dengan berani membuat pernyataan maaf di muka umum. Lha kalau Ariel? Eh, salah. Kok saya nuduh ya. Pelaku di video porno itu bukan Ariel ding. Kan dia gak pernah ngaku. Yang ngaku Cut Tari. Hahaha...

Kasus Bill Clinton vs... Yah, pejabat mana aja yang jelas2 bo-ong tapi ogah ngaku dah!

Bill Clinton memang pertamanya ngebantah habis2an, tetapi setelah bukti2 kuat terkuak tentang kasusnya dengan Monica Lewinsky, dia mengaku dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Amerika Serikat.

Lalu? Ya contoh status fesbuk di atas. Massa memilih menutup SPBU biarpun sebenarnya yang jelas2 salah para pemotor yang notabene anggota masyarakat sendiri. Pokoknya yang salah bukan saya! Saya gak pernah salah! Itu orang laen yang salah!

We, Easterners, or more specifically Indonesians, have a tendency to blame everything and everyone else but ourselves.

Saya ingat perjalanan pulang dari Amerika ke Indo. Di LA, pemberhentian terakhir sebelum Asia, kalau ada orang tak sengaja menabrak saya, si bule akan berkata, "Sorry." atau "Excuse me."

Begitu transit di Narita apalagi Jakarta, kalau ada orang nabrak, atau bahkan ada yang ngegiles kaki saya dengan kereta dorong, boro2 minta maaf, peduli aja enggak. Waktu itu saya sempat berpikir "Inikah adat orang Timur yang katanya menjunjung tinggi sopan santun dan keramahtamahan itu?"

Kasus lain. Saya pernah memesan delivery di sebuah restoran. Si mbak yang terima telpon berkata jam 7 malem paling telat pesanan nyampe. Oke deh. Jam 7.45 malem kok belum nyampe juga. Waktu saya telpon balik, kebetulan yang menerima telpon mbak yang sama. Waktu saya dengan agak jengkel memprotes, eeeee, dia malah balik bilang : "Kan saya sudah bilang jam 7 baru mau jalan mbak. Ini udah mau jalan kok!" Dalam hati saya pengen bilang "Jidat lo nong-nong ya! Emang sih mungkin gw tadi salah denger, jam 7 berangkat dari resto, bukan jam 7 nyampe rumah gw. Tapi ini udah jam 7.45, dodooool!" Tapi daripada makanan saya entar dicampur racun, ya udahlah. Padahal apa susahnya sih bilang, "Aduh, sorry Mbak. Iya nih telat."

Tapi coba katakan pada si orang anti-minta-maaf itu: "Lo kalo salah ngaku aja minta maaf napa sih!" Ooooooooo, yang ada dia bisa:
  1. Ngeles. "Iya nih orang2 emang payah udah salah gak mau ngaku. Kalo gw sih, kalo udah salah ya pasti ngaku!"
  2. Atau: ngamuk.

Ya, namanya juga anti-ngaku-salah. Minta maaf? Gengsi, gila!

Seorang teman saya yang kebetulan kerjanya jadi bos bagian riset dan juga ayah dari 2 anak (dan pernah tinggal 6 tahun di Amerika, jadi bisa membandingkan antara budaya Indo dan Amrik) pernah bilang:

"Mengakui kesalahan memang bukan budaya kita. Dan itu sudah dikondisikan dari kecil. Coba di sini, kalau anak kecil yang lagi belajar jalan nabrak tembok, apa kata ibunya? 'Ooooooo, sayaaaaang... Kasiaaaaan... Temboknya nakal ya? Nih, Mama pukul temboknya ya. Udah sayang, tuh, udah Mama pukul temboknya yang nakal. Jangan nangis lagi ya sayaaaang...'

Lha wong tembok jelas2 diem aja kenapa bisa dia yang salah?

Coba kalau anak bule yang nabrak tembok, ibunya bilang 'Oh, my poor baby! Are you hurt? Come here, darling. Next time, be careful, use your eyes, OK? That's my boy!"

Nah, beda kan? Yang pertama nyalahin tembok, yang kedua ngebilangin supaya belajar dari kesalahan dan jangan mengulanginya lagi. Maksud si ibu mungkin baik, supaya anaknya gak nangis. Tapi lama2 si anak merasa 'Gue ngapain aja kalau terjadi apa2, yang salah selalu orang lain. Bukan salah gue!' Dan itu terbawa sampai besar, sampai anak itu jadi artis terkenal atau pejabat atau apa pun."

Hmmmmmmmm....

Benar juga ya...

Jadi bagusnya gimana donk? Bagaimanapun kita kan orang Indo dan tinggal di Indo.

Ya iya sih, tapi seperti saya bilang tadi, kalau memang ada sesuatu yang baik, biarpun datengnya dari luar, kan gak ada salahnya dicangkok. Iya kan? Kertas aja pertama kali dibuat di Cina. Agama juga semuanya datang dari luar negeri. Bahasa Indonesia sendiri mencangkok kosa kata mulai dari bahasa Sanskrit sampai Belanda.

Lagian kalau bangsa ini tetep kekeuh gak mau ngaku salah (kalo memang salah lho ya), ya jadinya gak maju2, tetap seperti sekarang ini. Pejabat salah kekeuh gak mau mundur. Pengusaha bikin bencana alam cuek aja. Barang lokal kalah sama barang impor bukannya ngebenahin diri malah teriak2 minta proteksi. Gedung wakil rakyat diprotes lantaran kemahalan? Wakil rakyatnya malah bilang di koran: "Itu yang ngomong orang2 yang gak ngerti. Kalo gak ngerti gak usah ngomong. " Halo halo halo, orang Indo gini2 juga banyak yang jadi kontraktor lho, pastinya ngerti ongkos bikin gedung lah! Emang orang Indo bodoh semua?

Tulisan seorang Indonesia yang bangga jadi orang Indonesia, cinta Indonesia, tapi kadang2 malu sendiri sama kelakuan (gak semua lhoo) orang Indonesia.

***

Sabtu, Maret 05, 2011

Bagi Yang Mau Bikin Suvenir Kawinan

Category: Daily Life



I'm not a fan of expensive weddine souvenir. As a matter of fact I'm not a big fan of expensive wedding. Period.
Jangan salah ya. Sebenarnya saya suka wedding. Tapi bukan wedding gede yang ngundang ribuan orang, terus penganten-nya dipajang di depan kayak ondel2 dan ber-pegel-ria kudu nyalamain 2000-an tamu yang sebagian besar mereka gak kenal. Ya iyalah gak kenal wong sebagian besar tamu adalah rekan bisnis bapak-ibunya!
Ngelantur. Saya sebenarnya suka koleksi suvenir kawinan. Mulai dari sabun, lilin wangi, gelas, notes, boneka, coklat (buat dimakan sih, bukan disimpen), handuk, sumpit, dll. Hanya, saya tahu bahwa kebanyakan orang gak kayak saya, yang suka mengkoleksi dan memajang suvenir kawinan. Gak perlu jauh2, di kantor saja, kebanyakan suvenir kawinan rekan kerja nasibnya hanya teronggok di meja kerja mengumpulkan debu. Sayang banget. Padahal banyak di antara suvenir kawinan itu gak murah harganya.
Nah, hari ini kebetulan saya melihat foto suvenir kawinan yang lucu bin imut di fesbuk temen saya (semoga dia gak protes fotonya saya pinjem buat blog). Yaitu sepasang gantungan kunci nan lucu ini! Cute kan!
Nah, walaupun saya belum menikah, jadi belum pernah bikin suvenir kawinan, tapi sebagai veteran tamu acara wedding (bulan lalu saya hadir di 5 acara kondangan, padahal Februari bukan bulan yang terlalu panjang), saya merasa cukup terjustifikasi untuk bilang bahwa saya bisa memberikan beberapa poin bagi para calon mempelai untuk membuat suvenir wedding yang bakal bener dipakai oleh tamu, atau paling enggak dikoleksi dengan benar deh, gak digeletakin gitu aja di atas meja.
Fungsional
Gelas dan agenda mini. Suvenir standar yang hampir selalu digunakan oleh penerima karena memang merupakan barang keperluan sehari-hari. Gak unik sih, tapi daripada suvenir Anda akhirnya dicuekin saking uniknya sampe penerima bingung mau diapain itu barang?
Sebisa mungkin, not "another thing to dust"
Maksudnya, kalau bisa jangan berupa pajangan karena biasanya orang lebih suka membeli pajangan yang mereka pilih sendiri daripada pajangan yang memuat nama dan tnggal perkawinan orang lain. Kecuali suvenir Anda kebetulan luar biasa bagusnya. Lagipula pajangan bukanlah barang fungsional. Pajangan harus ditata dan dibersihkan dari debu (dusting), dan dengan sendirinya kecuali suvenir tsb betul2 sesuai selera penerima, biasanya suvenir pajangan secara menyedihkan (yang saya sering lihat sendiri) bakal berakhir di tong sampah. Tragis.
Nama pasangan dan tanggal kawinan jangan terlalu mencolok, tetapi sedikit kisah kasih Anda tidak mengapa
Penerima, biarpun temen sendiri, bisa rada ilfil menggunakan barang yang jelas2 dia peroleh secara gratis. Tapi saya pernah menerima hadiah gelas yang saya sangat suka karena dihiasi gambar kartun semi transparan yang menggambarkan episode kelahiran, pertemuan pertama pasangan, kapan mereka jadian, tunangan, lalu akhirnya menikah. Efek "cerita" tersebut membuat gelas menjadi lebih menarik, tidak melulu hanya tulisan nama pasangan dan tanggal pesta.
Suvenir yang gak perlu disimpan alias consumable
Misalnya coklat atau sabun. Benda2 ini bisa langsung dikonsumsi, jadi berguna dan tidak merepotkan penerima karena harus berpikir "Mau gue simpen di mana ya ini barang?" Apalagi kalau yang menerima adalah anak kos berkamar sempit yang tidak punya banyak tempat untuk menyimpan barang!
Karena itulah menurut saya contoh gantungan kunci di atas sangat bagus, karena design-nya sendiri manis, fungsional, bisa dikoleksi atau langsung dipakai, dan gak terlalu mencolok sebagai suvenir kawinan saat dipakai.
Mungkin Anda berpikir: "Kawinan gue ini, suka2 gue donk..." Memang sih, tapi bukankah akan jauh lebih menyenangkan kalau suvenir Anda diterima dengan suka-cita dan dipakai beneran daripada diterima ala-kadarnya kemudian dicuekin?
Lagian semakin banyak suvenir yang tidak terpakai dan terlantar atau terbuang, tidakkah itu akan menambah semakin banyak sampah di bumi kita tercinta ini?
Sangat menyedihkan bukan kalau sampah tersebut adalah suvenir hari terindah dalam hidup Anda?