Kamis, Maret 18, 2010

Money & Discontentment

Category: Feelings & Thoughts


"Worries about money mock you. They steal the joy of living because they follow you around all day like a dark, menacing shadow. At night they hover at the foot of your bed waiting to rob you of sleep. When you're worried about money you dread the days and you agonize at night. Without thinking, you throw away every precious twenty-four hours that come your way. You cease to live, and merely exist." (Simple Abundance: A Daybook of Comfort and Joy, by Sarah Ban Breathnach)

Saya nyengir.

Memang saya khusus mem buka2 kembali buku lama untuk membaca paragraf di atas. Soalnya saya sedang kejangkitan suatu virus yang teramat sangat jahat dan menjengkelkan. Memang virus ini tidak membuat saya bersin2 atau terkapar lemas dengan demam tinggi. Tapi virus ini membuat saya uring2an, tidak nyenyak tidur, ngedumel seharian, jidat saya ber kerut2 kayak nenek2, bibir saya memberengut jelek, makan tak enak tidurpun tiada nyenyak... lho, kok malah nyanyi? Hehehe...

Virus itu bernama: KETIDAKPUASAN atau menurut bahasanya Obama: DISCONTENTMENT.

Gak puas? Gak puas soal apa? Apa yang bikin saya gak puas?

Mungkin sama seperti masalah banyaaaaaaak manusia lain di belantara beton Jakarta ini: DUID. Eh, salah. DUIT.

Satu hal yang lucu tentang uang adalah (atau malah gak lucu kali ya) adalah: ketika saya benar2 bokek, gak punya duit sama sekali, dapet rejeki cuman sedikiiit saja rasanya sudah suenangnyaaaaa luar biasa. Waktu saya akhirnya dapat kerjaan baru setelah sempat jadi pengangguran selama ber bulan2, rasanya bahagia bukan main. Terima kasih Tuhan, bisa bayar kos dan gak kelaparan... Terus gaji saya naik pula dari gaji saya di kantor lama, biarpun cuma 15%.

Tapi begitu sudah kerja beberapa bulan, pemasukan sudah teratur kembali, saya malah jadi tidak puas, tidak bersyukur dan ingin dapat lebih banyak dan lebih banyak lagi. Bisa bayar kos tanpa nunggak dan bisa makan 3 kali sehari sudah gak dianggap lagi. Saya mendadak kepingin beli baju baru, tas baru, sepatu baru, dan... wah, kok tetangga kamar sebelah barusan beli mobil baru? Koq saya cuma punya mobil tua yang kecil mungil ini? Kenapa saya koq gak mampu beli mobil baru? Wah, sialan, itu anak baru yang dibajak dari perusahaan kompetitor kayaknya naik gajinya 50% deh. Atau jangan2 lebih? Huh. Malang bener sih nasib saya. Koq saya cuma ditawari tambahan gaji 15%? Gak adil! Curang!

dsb... dsb...

Itulah monster dalam diri saya yang terus meraung-raung, "Gak puas! Gak puas! Gimme more! Gimme more! Demi Moore!" (Tuh kan, salah lagi...)

Kenapa saya gak inget bahwa setelah PHK saya cuma kepingin dapet kerja, kerjaan apa aja, asal halal dan dapet gaji.

Kenapa saya gak inget, bahwa saya bukan cuma dapet kerjaan baru tapi juga dapet gaji yang 15% lebih dari gaji terakhir saya. Dan itu sudah bagus mengingat bargain power saya sangat rendah pada saat nego, lha wong saya lagi gak punya kerjaan!

Kenapa saya gak inget bahwa toh dengan gaji saya yang dulu maupun yang sekarang, biarpun mungkin kalah jauh dengan si anak baru yang dibajak dari kantor laen, saya masih mampu hidup enak, bahkan masih ada sisanya buat ditabung.

Kenapa saya gak inget, bahwa kalaupun gaji saya naek 200%, paling2 gaya hidup saya gak akan berubah banyak, lha wong pada dasarnya saya memang terbiasa hidup hemat.

Dan kenapa saya gak inget betapa hepi dan bersyukurnya saya saat dapet kerjaan ini?

Kenapa rasa gembira itu hanya berlangsung 1-2 bulan terus saya kembali gak puas dan sirik dengan keberuntungan orang lain?

Sungguh picik.

Dan juga bodoh.

Saya merampok milih saya yang paling berharga: waktu. In reality, time is not money. Time is your life. You cannot buy life. You can only enjoy whatever time that has been given you. You cannot, by worrying, add even a second to your life.

Dan saya membuang waktu yang berharga ini, yang semestinya bisa untuk menelpon teman2 lama, baca buku, bikin puisi, berdoa, nulis blog, menghibur teman yang sedih lantaran ditinggal pacar, belajar masak, dan kegiatan menyenangkan atau produktif lainnya - dengan ngambeg sama kehidupan, mengomel dalam hati, sibuk mengira-ngira berapa gaji orang laen, curiga sama setiap orang baru yang mungkin dapat gaji lebih dari saya... Bodo banget kan!

C.S. Lewis said: "Love turns into evil the moment you make it a god."

Versi saya: "Anything turns into evil the moment you make it a god, except God."

Uang bisa digunakan untuk hal yang baik seperti menikmati hidup dan menolong orang. Tapi ketika orang mulai mendewakan uang, minimal dia akan jadi gak puas kayak saya, atau yang lebih parah seperti mencuri lah, korupsi, nipu orang, jual diri, dll dll...

Bahkan cinta juga sama. Ketika seseorang terlalu mencinta, dan mendewakan cinta atau orang yang dia cintai, dia bisa affair dengan suami orang (seperti teman saya Lina yang malang) atau malah dalam kasus yang ekstrem membunuh saingan cintanya.

Eh, kok ngelantur... Ayo ayo balik ke topik duit tadi.

Jadi saya sedang berusaha menghilangkan ketidakpuasan alias discontentment ini, karena saya juga enggak suka dengan perasaan yang negatif ini. Salah satunya adalah dengan menumpahkan uneg2 saya di blog ini.

Semoga malam ini saya bisa berdoa dengan hati yang tulus dan kemudian tidur nyenyak tanpa mikir yang aneh2 seperti: "Kalau saya dulu nego-nya lebih agresif, mungkin gaji saya bakal lebih banyak ya..."

Uuuuugggggh... Rose, nyadar nak! Nyadar! Jadi orang gak bole serakah!

***

Rabu, Maret 10, 2010

When Love Goes Wrong: Falling In Love With A Married Man

Category: Feelings & Thoughts

Bukaaaaaan... Bukan sayaaaaaa.... Saya enggak jatuh cinta sama pria beristri. Suerrrr!!!

Saya barusan pulang dari ngupi2 dengan seorang teman dekat, sebut saja namanya Lina. Cewe satu ini bener2 tipe cewe idaman. Penampilannya bak seorang model. Ke mana pun dia pergi selalu menarik perhatian. Otaknya brilian. Karir cemerlang. Terlahir dari keluarga yang keadaan finansialnya lebih dari cukup. Pribadinya menyenangkan. Orangnya ramah dan baik hati. Apa lagi yang kurang coba?

Lina teman saja sejak kuliah di States. Sekarang dia bekerja di salah satu perusahaan ternama di Sudirman sebagai Office Manager. Tinggal di apartemen mewah. Ke mana2 naik sedan mulus keluaran terbaru, diantar supir kantor. Pokoknya Lina ini benar2 wanita mapan idaman cewe2 yang masih jungkir balik meniti karir dan gak maju2 kayak saya. Boro2 apartemen, masih untung saya mampu tinggal di kos2an yang cuma "sekali tendang" nyampe kantor!

Di mata saya Lina yang anggun, mulus terawat, selalu tampak glamor dan ceria adalah seorang wanita yang sem-pur-na.

Sampai malam ini.

Saya bener2 shock ketika di pojok sebuah coffeshop Lina dengan wajah sendu bercerita bahwa dia sudah sekitar setahun ini menjalin cinta - atau bisa disebut affair - dengan seorang pria beristri. Yang lebih bikin saya bengong, pria itu tak lain dan tak bukan adalah bos-nya sendiri! Salah satu direktur perusahaan besar tempat dia bekerja.

Lina sang wanita sempurna ternyata seorang wanita simpanan. Perempuan piaraan. Cem2an bos.

Saya tak habis pikir.

Lina tidak butuh uangnya. Secara materi dia lebih dari cukup. Keluarganya pun berduit. Sama seperti saya, Lina anak daerah yang tinggal sendirian di Ibu Kota. Namun dia datang dari kalangan the haves. Beda dengan saya yang berasal dari kelas menengah.

Kalau hanya karena "jablay", dengan penampilannya yang gemilang, Lina mampu mendapatkan selusin pria muda, tampan dan single kalau dia mau. Lha wong saya tau persis pacarnya - eh, bos nya yang jadi pacaranya - itu kagak ada cakep2nya kok! Tipikal bos gitu de. Tau kan? Pria setengah umur yang rada2 chubby gitu lah. Memang sih katanya bos kaya dan powerful itu seksi, dan bos-nya si Lina ini memang tokoh terpandang di kalangan bisnis Indonesia. Tapi teteup ajaaaaa....

Lalu kenapa?

"Aku mencintainya, Rose. Aku benar2 mencintainya. Dan dengan caranya sendiri dia pun mencintaiku, walaupun mungkin tak sebesar cintaku padanya," ungkap LIna dengan mata ber kaca2.

Jujur saja, hampir saja saya nyeletuk: "Ya jelaslah! Dia yang dapet se gala2nya, kamu cuman dapet duit doang. Padahal kamu gak butuh2 duit amat. Dasar bos elo tuh ya, tua bangka enggak tau diri!"

Tapi tentu saja saya gak bilang begitu. Bisa2 kami jadi gak temenan lagi.

Well, nyampe rumah saya langsung nulis blog ini. Saya belum punya pendapat apa2 atau analisa apa2. Saya masih shock. Koq bisaaaaaaa yaaaaaa.... Selama ini saya cuman tau cewe simpanan tuh ya dari berita gosip2 bahwa si A simpanan Pejabat Anu, ato gosip2 kantor bahwa si Polan mau di grepe2 sama Bos Bodong supaya naek pangkat, dll. Tapi belum pernah temen saya sendiri, yang saya kenal baik, dan blak2an pula curhat ke saya!

Sampai dengan sekitar 4 jam yang lalu, saya masih punya pendapat bahwa cewe simpanan itu pasti:
1. Matre
2. Blo-on, makanya gak mampu kerja yang bener buat cari duit
3. Gak bermoral, orang udah jelas laki punya bini kok dilalap
4. Goblog, kok bisa kena rayuan gombal pria beristri
5. Boneka Barbie berotak kosong yang dibuat cuma buat didandanin kemudian ditidurin (Sadis? Emang. Tapi itu kan pendapat pribadi. Paling enggak sampai 4 jam lalu)

Tapi Lina tidak seperti itu.

Saya bingung.

Kenapa seorang high-qualified single woman seperti Lina bisa bernasib seperti ini?

Dan ada apa sih dengan pria2 kaya? Kenapa mereka gak cukup punya 1 istri? Kalau memang mau punya pacar, kenapa juga married? Jadi self-confirmed bachelor aja kayak George Clooney kan beres!

Kayaknya, selama beberapa hari mendatang, saya akan banyak berpikir tentang masalah forbidden love ini.

Lina, you're a great girl. And a great friend. WIth all my heart I pray that soon you will fall out of love with this man. You deserve better. You deserve so much better.

***