Selasa, Juli 07, 2009

Borobudur: Tempat Sampah Umum? !@#$%&!!!

Saya pernah mendengar kalimat ini: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pemimpinnya." Kali ini saya ingin menambahkan satu kalimat lagi: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai dan memelihara kekayaan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya."



Category: Feelings & Thoughts

Saya cabut ke Jogja. Tiga hari saja. Sendiri. Saya bosan dan stress di Jakarta, berkutat mencari kerjaan baru yang tiada kunjung datang, plus bengek menghirup udara debu saban hari. Waktunya untuk take a break. Saya kan gak mau jadi sinting karena tiap hari melototin situs pencari kerja.

Walaupun tanpa rencana matang, ternyata liburan kali ini sangat "efisien dan efektif". Saya menyewa mobil di tempat travel langganan (eks) kantor saya. Pemiliknya, yang mungkin kasian sama saya setelah tau status saya yang pengangguran, memberikan potongan harga yang lumayan. Saya nginap di hostel atau guesthouse yang murah meriah. Pokoknya yang di bawah Rp 200 ribu per malam lah. Yang penting bersih dan saya gak terlantar atau kudu tidur di alun2 saat malam tiba. Toh sepanjang hari dari pagi sampai malam saya keluyuran di luar.

Beda dengan biasanya, liburan kali ini saya harus melakukan banyak "akrobat" supaya keuangan saya gak jebol. Saya makan di warung2 pinggir jalan, mengunjungi galeri2 seni gratisan dan candi2 yang tiket masuknya (untungnya) tak sampai 5000 perak. Maklum, lagi gak punya penghasilan. Tapi tak apa. Toh saya memang suka kesenian dan sejarah. Hanya saja dengan perasaan ngenes saya berkeras tidak mengunjungi sentra2 kerajinan seperti Kasongan dan Kotagede. Situasi yang sedang prihatin membuat saya bertekad untuk tidak membeli apa2 yang tidak perlu. Untuk apa mendekati godaan? Saya sadar, kalau saya pergi, tangan saya perlu digerendel pake gembok supaya gak nekad belanja ini itu. Duh, untuk kesekian kalinya saya mengucap permohonan kepada Tuhan supaya segera mendapat kerjaan baru, supaya pemasukan uang bisa lancar kembali..

Satu2nya treat yang saya ijinkan buat diri sendiri pada perjalanan kali ini adalah ikut paket Borobudur Sunrise di Hotel Manohara. (Gak, gak ada hubungan dengan Manohara yang itu) Ongkosnya Rp 150 ribu. Hotelnya Rp 575 ribu. Dari hotel ke candi cukup jalan kaki. Tak sampai 5 menit pun sampai. Saya sempat maju mundur kayak undur2 mengingat biaya yang tak bisa dibilang murah. Saya merasa bersalah. Wong lagi pengangguran kok malah hura-hura! Tapi akhirnya saya nekad. Toh saya tak belanja apa2 pada liburan kali ini, kata saya mem bujuk2 diri sendiri sebagai justifikasi atas kemewahan di saat "krisis" yang saya lakukan.

Ternyata saya tidak menyesal. Di Jakarta, boro2 menonton matahari terbit. Biasanya saat sang surya mulai "piket" keliling bumi saya masih enak2 molor di ranjang. Lagian susah melihat sunrise kalau di mana2 tertutup gedung2 pencakar langit dan asap knalpot. Kali ini saya bukan hanya sudah terbangun sejak jam 4 pagi untuk mendaki 10 tingkat Borobudur saat hari masih gelap, tetapi juga mendapatkan luxury menonton sunrise dari puncak Candi Borobudur. Mantabs!

The sunrise, needless to say, was spectacular. Namun saya sangat kecewa waktu terang tanah dan saya bisa melihat jelas keadaan di sekeliling saya.

Candi Borobudur yang cantik, majestic, peninggalan sejarah kekayaan bangsa Indonesia, yang juga merupakan tempat suci agama Buddha, "dihias" oleh sampah2 yang berserakan di mana2. Botol2 plastik bekas air, kaleng2 bekas minuman, bungkus makanan, kulit jeruk, dan entah apa lagi.

Saya terpana. Terpukul. Kesal. Kemudian sedih. Dan ketika saya mendengar beberapa turis bule (sepertinya Australian, kalau mendengar logatnya) berkomentar tentang joroknya bangunan bersejarah ini, saya malu. Malu kepada turis yang datang dari negeri lain itu. Malu untuk bangsa sendiri. Apakah bangsa ini sedemikian tidak peduli dan tidak menghargai kekayaan miliknya sendiri? Apakah bangsa ini sedemikian tidak tahu malu sehingga tidak mempedulikan image-nya sendiri di mata dunia? Apakah bangsa ini sedemikian pemalas sehingga untuk melakukan hal yang mudah seperti membuang sampah pada tempatnya saja tidak mau? Apa susahnya sih membuang sampah pada tempatnya? Apakah itu merupakan pekerjaan berat? Memangnya Borobudur ini dianggap apa, tempat sampah umum? Ngawur aja!

Pukul 7. Waktunya turun candi untuk sarapan di hotel. Saya mengeluarkan kantong plastik dari tas. Sepanjang jalan turun saya memunguti sampah2 yang berserakan. (Tentu saja hanya di rute yang saya lewati, gak mungkin saya rela muter keliling candi yang segede bagong itu untuk membersihkan sampah! Saya gak sebaik itu!) Mungkin orang2 heran melihat kelakuan saya, tapi saya tak peduli. Saya cuma orang biasa. Satu di antara sekian banyak rakyat biasa. Saya tak bisa berbuat banyak. Saya cuma bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan Dan hanya ini yang bisa saya lakukan. Hanya ini.

Dan membuat tulisan ini. Saya mengajak teman-teman semua untuk menghargai dan merawat apa yang kita miliki. Apa yang Indonesia miliki. Karena kalau apa yang kita sudah punya saja tidak kita syukuri, hargai dan rawat dengan baik, bagaimana kita mau men jerit2 minta kepada Tuhan untuk memberi lebih banyak lagi? Buat apa protes2 dan demo2 ke pemerintah kalau sesudah demo kita meninggalkan sampah segudang? Siapa yang mau mendengarkan keluhan orang2 yang untuk melakukan hal sesimpel buang sampah pada tempatnya saja gak bisa dan gak mau? Saya sih ogah! Kalau dalam hal kecil saja kita sudah malas dan tak becus, gimana mau dipercaya untuk melakukan hal-hal besar? Bagaimana negara dan bangsa lain akan menghargai kita dan milik kita kalau kitanya saja malah mengotori dan merusaknya? Mungkinkah itu sebabnya negeri tetangga kita (yang tak perlu saya sebut negara mana) tanpa respek sama sekali seenak udel berlenggang kangkung "merampas" kekayaan2 kita seperti reog, tempe, lagu2 daerah untuk diaku milik sendiri dan bahkan nekad menerobos ke wilyaah perairan kita? Mungkin karena mereka melihat bahwa kebanyakan orang Indonesia toh bersikap seolah-olah tidak peduli pada kekayaannya sendiri, jadi mereka pikir mendingan diambil saja supaya bisa dirawat sebagaimana mestinya!

Di sekeliling saya keindahan alam dan desa Borobudur terbentang luas memukau mata. Tapi saya tetap menunduk dan memunguti sampah yang berserakan. Terus sampai tingkat paling bawah, untuk kemudian dibuang ke tong sampah yang tersedia. Saya pulang ke hotel dan mencuci tangan, makan pagi dan ber siap2 check out.

***

3 komentar:

  1. @White Rose,
    Tulisannya bagus, ekspresif..sy sampai senyum2 seolah kembali hadir di borobudur stl baca posting ini.. kasihan borobudur, aset bangsa yang blm mendapatkan perhatian seperti seharusnya. Semoga banyak White Rose yang lain yang akan menyadarkan bangsa ini.

    BalasHapus
  2. tulisan yang sangat bagus....? andai saja mahasiswa,masyarakat dan elemen bangsa pedulikan sampah maka di Indonesia negeri yang kita cintai bersama ini tak akan penuh dengan sampah, AYOOOO sama sama kita buang sampah pada tempatnya, dan selalu mengantongi sampah sebelum ketemu tempat sampah.....?

    BalasHapus