Minggu, Mei 16, 2010

A Thankful Heart: A Sound In The Rain


Category: Feelings & Thoughts

Apa hubungannya hati yang berterima kasih dengan suara di tengah hujan? Gak nyambung bener...

Hari ini hujan sejak siang dan saya jadi gak bisa ke mana2. Koreksi. Saya jadi males ke mana2. Gimana bisa bilang gak bisa ke mana2, orang naek mobil juga tinggal pergi kalo mau kok.

Akhirnya saya cuma "ngelingker" di ranjang sambil browsing di internet, sambil mendengarkan suara hujan yang lumayan deras dan berisik di luar.

Romantis di tengah gerimis? Boro-boro... Saya malah lagi uring2an...

Kebetulan di internet saya baru me lihat2 daftar restoran2 berbintang lima di Jakarta, seperti Lobo dan Mistere di Ritz Carlton, Black Cat di Senayan Arcadia, Kinara di Kemang, Social House di Grand Indo, Immigrant di EXX, Cassis, Emilie, dll dll. Sebagian mahal tapi masih terjangkau, sebagian lagi muahal dan saya gak mungkin makan di sana kalo gak dibayarin. Emilie, misalnya. Saya pernah satu kali makan di resto Prancis di kawasan SCBD ini, dan saya gak berani pesan lebih dari appetizer karena harganya "melanglang buana ke langit ketujuh" alias muahal buanget!

Sebagai orang yang doyan makan, kuliner adalah hobi saya yang lumayan boros. Saya rela mengeluarkan uang ratusan ribu untuk satu kali makan di restoran. As a treat, saya biasanya mengunjungi restoran2 mahal itu masing2 SATU kali untuk paling tidak pernah nyoba aja. Melihat menu-nya, merasakan atmosfer-nya, dan menikmati pura2 jadi orang kaya. Cuman ya itu, kalo orang kaya beneran bisa makan di tempat2 seperti itu secara rutin, menjadikan tempat2 berkelas itu sebagai tempat kongkow2 dengan teman2nya, dan memesan menu tanpa perlu memeriksa dompet apakah duit cukup ato tidak. Kalo saya pergi ke sana cuma mampu mencoba restoran2 tsb masing2 sekali. Kalau lebih dari itu saya merasa sayang karena sebenarnya memang gak, ato kalo mau optimis, belum mampu, menjadikan makan di sana sebagai sesuatu yang rutin.

Tiba2 saya merasa sangat malang.

Kenapa saya gak bisa kaya seperti anak2 konglomerat atau pejabat? padahal mereka cuma bisa meng hambur2kan duit bapaknya, pamer mobil mewah, bahkan banyak yang terjerat narkoba. Saya tahu pasti beberapa universitas di Amrik yang "menjual" gelar pada anak2 Indo super-kaya. Ya, gelar di negeri Obama itu bisa dibeli. Gimana mau lulus dengan halal orang kuliah aja gak pernah masuk, party mulu!

Terus gimana dengan cewe2 seperti Manohara atau Nia Ramadani? Kecil2 sudah naik turun pesawat jet pribadi. Bodo amat itu pesawat jet-nya Bakrie, yang penting kan gaul dengan kalangan jet set. Nia Ramadani malah udah gak usah kerja lagi seumur hidupnya. Duit suaminya cukup buat foya2 tujuh turunan.

Kenapa saya cuma begini2 saja? Makan di restoran yang rada bagus aja saya gak mampu, harus memaksakan budget...

Saya merasa kasihan pada diri sendiri. Saya menangis. Rasanya percuma saja saya sudah bekerja keras selama ini: sekolah dan belajar giat, bekerja keras di kantor untuk gaji yang tak seberapa, pacar saja saya gak punya. Hujan2 begini saya cuma mengurung diri di kamar kos yang sempit. Sendirian tanpa teman.

Kenapa Tuhan? Kenapa? Saya merasa diperlakukan tidak adil.

Sedang saya terisak-isak gak juntrung, lamat2 saya mendengar suara dari jalanan di luar.

Tok tok tok tok tok... Tok tok tok...

Suara seorang pedagang keliling yang sedang menjajakan jualannya. Mungkin makanan. Bakso mungkin. Atau nasi goreng dok-dok. Itu biasa. Memang banyak sekali pedagang keliling di jalan di depan kos2an saya. Mulai dari bakul jamu gendong sampe tukang jagung rebus dan kembang tahu. Semua lengkap.

Karenanya saya tak mempedulikan suara itu.

Tok tok tok... Tik tik tik tik...

Lho, tiba2 saya sadar bahwa suara si pedagang kali ini agak lain. Suara dok2nya diselingi bunyi hujan deras. Hah? Hujan?

Tiba2 saja saya sudah menghambur keluar dari kamar dan lari ke balkon yang menghadap ke arah jalanan. Dan saya melihat suatu pemandangan yang seakan menampar saya keras2.

Di tengah2 hujan yang turun dengan deras, seorang pedagang keliling mendorong gerobaknya dalam keadaan basah kuyub. Ia mengetuk-ketuk pinggir gerobak dengan pemukul kayu. Itulah yang membuat suara tok-tok-tok.

Saya terus memandang sampai si pedagang lenyap dari pandangan.

Lalu saya kembali ke kamar. Kamar kos saya yang mungil tapi nyaman. Ber-AC. Dengan kamar mandi di dalam. Dilengkapi TV, kulkas dan ranjang ukuran queen.

Kalau hujan seperti ini dan saya sakit, saya tinggal calling in sick. Bahkan kalau lagi malas pun yang bisa call in sick. Gaji saya tidak akan dipotong. Saya tidak perlu berkeliling dalam hujan untuk mencari sesuap nasi karena kalo tiap kali hujan saya bolos kerja keluarga saya akan kelaparan tidak bisa makan.

Dan kalaupun bekerja pun, dalam hujan maupun panas saya bekerja di kantor yang bagus, ber AC, dengan jendela2 kaca yang memaparkan pemandangan indah: gedung2 pencakar langit Sudirman. Dalam mencari nafkah saya tidak perlu keringatan atau kehujanan.

Pada saat saya kena PHK tahun lalu pun saya mendapat pesangon lumayan sehingga saya tetap bisa hidup enak selama beberapa bulan saya tidak bekerja. Saya masih bisa makan di mal. Malah masih bisa liburan singkat ke Jogja.

Saya sangat diberkati.

Mungkin buat si pedagang tadi hujan dan panas tidak ada bedanya. Orang bisa karena biasa. Mungkin dalam hujan pun itu tetap menjajakan dagangannya dengan ceria. Mungkin sama seperti kalau anak konglomerat melihat saya dan teman2 sedang makan di foodcourt sambil tertawa-tawa, mereka juga akan berpikir: "Sungguh orang2 sederhana ini. Biarpun cuman bisa makan di foodcourt mereka kelihatan gembira."

Setiap orang punya rejeki dan berkatnya sendiri2.

Membanding-bandingkan taraf hidup saya dengan para sosialita di majalah telah menimbulkan bibit rasa tidak puas akan taraf hidup saya sendiri, yang sebenarnya sama sekali tidak jelek. Come on, jujurlah, saya menegur diri sendiri. Berapa persen orang di Indonesia yang seberuntung dirimu dan bisa hidup mandiri secara halal di Jakarta? Mungkin kurang dari lima belas persen? Tapi kamu membandingkan dirimu dengan orang2 superkaya dan para socialites yang cuma 1% itu (atau malah kurang), bukannya mensyukuri bahwa nasibmu lebih baik daripada yang 85-90%! Saya terus mengomeli diri sendiri.

You should be ashamed of yourself. If you claim that you believe in God - who created heaven and earth and everything seen and unseen - how dare you not to trust His judgement and His provision for you? Who are you to correct God, tell God what to do and what not to do, what to give and not to give? He who created the universe knows what He's doing. You don't know what real adversity is. You have so much. Yet you have so little since you are jealous and you don't have a grateful heart.

Saya menangis lagi. Tapi kali ini karena menyesal dan merasa berdosa.

Saya minta ampun sama Tuhan.

Dan dalam doa kali ini saya mengucapkan sesuatu yang lain lagi: ucapan syukur dan terima kasih.

Dan sebuah permohonan: "Dear Lord, please give me a thankful heart."

Hari ini hari Minggu. Jakarta diguyur hujan. Dan saya yang egois dan tidak tahu terima kasih ini telah menerima suatu sentilan, pelajaran dari Tuhan.

Semoga saya tak akan pernah melupakan suara di tengah hujan itu.



"Where do the conflicts among you come from? Is it not from your passions that make war within your members? You covet but do not posses." (James 4:1-2)

***

From The Book of Job

"Then the Lord addressed Job out of the storm and said:

Who is this that obscures divine plans with words of ignorance?
Gird up your loins now, like a man;
I will question you, and you tell me the answers.

Where were you when I founded the earth?
Tell me, if you have understanding. (38:1-4)

Have you ever in your lifetime commanded the morning
and shown the dawn its place? (38:12)

Have you comprehended the breadth of the earth?
Tell me, if you know all. (38:18)

Will we have arguing with the Almighty by the critic?
Let him who correct God give answer! (40:2)

Would you refuse to acknowledge My right?
Would you condemn Me that you may be justified? (40:8)

Then Job answered the Lord and said: (42:1)

I have dealt with great things that I do not understand;
things too wonderful for me, which I cannot know. (42:3)

Therefore I disown what I have said,
and repent in dust and ashes." (42:6)

***

2 komentar:

  1. really inspiration, swr.. i really know how u feel.. karna saya pernah juga nangis utk suatu alasan yg mirip kaya kamu. gbu ^^

    BalasHapus
  2. Kalau dilihat ke belakang, aneh ya kok kayak gitu aja nangis. Kesannya gak bersyukur banget nih anak. Tapi pas itu rasanya kayak jadi orang paling sial sedunia, hehehe... Gbu too...

    BalasHapus