Selasa, Juni 09, 2009

Saya Bukan Yang Paling Menderita…

Catatan: Tulisan ini didedikasikan kepada keluarga korban helikopter AD Bolkow BO105 yang kemarin sore jatuh di Cianjur. Semoga diberi kekuatan dan penghiburan. Sedangkan kepada korban, semoga kesalahannya diampuni dan diterima di sisi Tuhan.


Category: Feelings & Thoughts

Hari ini saya merasa sebagai manusia paling malang sedunia. Alasannya banyak, tapi gak akan saya tulis kali ini. Pokoknya saya lagi apes mulu deh, nih bayangin aja saya lagi bermasalah di bidang pekerjaan-keuangan-asmara-pertemanan-keluarga-tempat tinggal-kesehatan. Komplet. Semuanya datang beruntun hingga saya gak sempat tarik napas. Belum lagi problem tetek bengek yang mendadak muncul bebarengan dan bikin saya mau nangis, mulai data di komputer ilang sampe mobil mendadak mogok. Padahal tadi saya sudah bilang kalau salah satu masalah saya adalah di bidang pekerjaan dan keuangan kan? Artinya saya sedang berusaha ngirit, tapi sekarang malah harus keluar biaya tambahan. O iya, masalah di bidang kesehatan juga butuh duit. Ribet!
(Paling enggak masalah pertemanan bisa membantu masalah keuangan. Kalau kamu mendadak ditinggal sama orang-orang yang tadinya kamu anggap teman, kamu jadi jarang pergi2 dan gak keluar uang buat bensin, parkir, jajan, dll.)

Saya cemas. Sedih. Susah. Takut. Kuatir. Jengkel. Marah. Kecewa. Merasa diperlakukan tak adil. Kesepian. Sendirian. Putus asa. Stres. Depresi. Saya kepingin tidur dan tidak bangun-bangun lagi. Paling tidak dalam tidur saya tidak usah menghadapi kenyataan. Sekali lagi saya senewen, cemas, kuatir dan takut akan masa depan saya. Bagaimana saya harus menyambung hidup nantinya? Apakah hidup saya akan seterusnya seperti ini? Tanpa pasangan, tanpa tempat tinggal, pekerjaan dan penghasilan yang jelas... Hanya bertahan hidup dalam perjuangan tak berujung, kehampaan, kesepian dan kesendirian, hari demi hari, tahun demi tahun, hambar tanpa tujuan? Lalu untuk apa saya hidup?

Kemudian saya secara tak sengaja mendengar berita di TV waktu lagi ngambil air minum di bawah. Tentang helikopter TNI yang jatuh di Cianjur.

Ah, biasa aja, pikir saja kejam. Banyak kok pesawat jatuh akhir-akhir ini. (Catatan: media bisa membuat orang jadi mati rasa dan putus saraf kemanusiaannya) Saya pun cuek saja melanjutkan urusan saya mengambil air.

Kemudian saya mendengar acara pemakaman salah satu korban, seorang perwira AD (saya lupa namanya) yang meninggalkan dua orang anak remaja, 11 dan 14 tahun, cowo dan cewe. Sampai di sini saya mulai pasang kuping tapi masi rada cuek.

Kemudian saya mendengar penyiar TV bilang begini, ”Dengan demikian kedua anak remaja ini akan menjadi yatim piatu karena istri almarhum, ibu anak-anak ini, juga telah meninggal dunia dua tahun sebelumnya...”

Saya terhenyak. Bengong.

Tentu saja saya tahu bahwa di dunia ini banyak anak yatim piatu. Saya sendiri bulan lalu barusan mengorganisir kegiatan sosial ke salah satu panti asuhan di Jakarta. Tapi alangkah mudahnya melupakan orang lain dan hanya berkonsentrasi pada diri sendiri saat masalah datang mendera.

Saya jadi malu. Apalah artinya semua problema, keruwetan, kesedihan, ketakutan, kecemasan saya saat ini dalam menghadapi hidup, dibandingkan kesedihan, ketakutan dan kecemasan kedua anak itu? Saya sudah dewasa. Sudah biasa hidup sendiri dari lulus SMA. Sudah menghidupi diri sendiri sejak lulus kuliah. Dan masih punya orang tua yang menyayangi saya, biarpun saat ini saya setengah mati menyembunyikan keadaan saya yang lagi kesusahan dari mereka. Sedangkan anak-anak ini? Masih begitu muda, masih SD dan SMP, dan orang tua tempat berlindung diambil dari mereka. Tak peduli betapa kuat dan mandirinya, mereka pasti tetap merasa terombang-ambing dan kehilangan pegangan. Saya mencoba membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang (mungkin) berkecamuk dalam pikiran mereka:

Bagaimana nasib kami seterusnya?
Kami akan tinggal dengan siapa?
Siapa yang akan membiayai hidup kami?
Apakah kami masih bisa tetap sekolah?
Apakah kami akan hidup miskin dan kelaparan sebagai anak2 yatim piatu?

(Kalau saya berumur 11 dan 14 tahun saya mungkin akan mengkuatirkan hal2 tsb karena saya belum cukup umur untuk bekerja.)

Bagaimana mereka harus melanjutkan hidup dalam keadaan seperti itu, dan dalam usia yang masih sangat muda?

Keberanian. Harapan. Iman.

Itulah yang akan membantu mereka terus hidup.

Dengan halus, Tuhan mengingatkan saya, ”Kamu bukanlah orang yang paling menderita di dunia ini... Kamu begitu tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan pada beberapa bulan terakhir ini sehingga kamu lupa akan kebahagiaan dan kelimpahan yang telah kamu terima
selama bertahun-tahun dalam hidupmu...”

Courage. Hope. Faith.

Semoga saya juga memilikinya untuk tetap hidup dan percaya kepada-Nya. Salah. Saya sudah mempunyainya. Terkubur jauh di bawh semua tumpukan perasaan negatif saya, tapi sudah saya miliki. Saya tinggal menggalinya keluar.

Ampuni saya Tuhan. Dan terima kasih.

***

Sirach 11
25 The day of prosperity makes one forget adversity;
the day of adversity makes one forget prosperity.
26 A moment’s affliction brings forgetfulness of past delights;

***

2 komentar:

  1. i like this post.. really inspiring.. ;)

    BalasHapus
  2. Ma kasih ya Alice... Siapa sangka "kebetulan" denger omongan penyiar TV bisa nohok segitu dalem :)

    BalasHapus